Jumat, 25 Desember 2009

KEPALA DESA DILARANG MENGURUS PARTAI POLITIK

Dalam aturan perundang-undangan secara tegas disebutkan bahwa kepala desa wajib bersikap non-partisan dan netral terhadap semua partai politik dan dilarang menjadi pengurus parpol. "Larangan menjadi pengurus parpol itu jelas diatur dalam Pasal 16 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005," kata Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang di Gedung Depdagri Jakarta, Rabu.
Saut menjelaskan, selain diatur dalam PP Nomor 72 tahun 2005 tentang desa, peran netral kepala desa dan perangkat desa juga diatur dalam surat edaran Mendagri

Dalam surat edaran Mendagri disebutkan, kepala desa dan perangkat desa yang ingin menjadi anggota atau pengurus parpol wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota, dengan tembusan kepada camat dan Badan Perwakilan Desa disertai pernyataan pengunduran diri atau berhenti. Bupati/walikota menyampaikan persetujuan atau penolakan secara tertulis kepada kepala desa dan/atau perangkat desa pemohon, dengan tembusan kepada camat dan Badan Perwakilan Desa. Persetujuan kepala desa dan/atau perangkat desa dari bupati/walikota tersebut, ditindaklanjuti dengan empat hal.

1. Penetapan keputusan bupati/walikota tentang pemberhentian kepala desa bersangkutan.

2. Kedua, penetapan keputusan bupati/walikota tentang pengangkatan pejabat sementara kepala desa.

3. Berdasarkan keputusan bupati/walikota tentang pemberhentian kepala desa dan keputusan bupati/walikota tentang pengangkatan pejabat sementara kepala desa, maka badan perwakilan desa bersama pejabat sementara kepala desa segera melakukan persiapan pelaksanaan pemilihan kepala desa yang baru.

Berdasarkan surat persetujuan bupati/walikota terhadap perangkat desa yang hendak menjadi anggota atau pengurus parpol, maka kepala desa menetapkan keputusan kepala desa tentang pemberhentian perangkat desa yang bersangkutan.
Kepala desa segera memilih atau mengangkat perangkat desa yang baru untuk menggantikan perangkat desa yang diberhentikan atas persetujuan Badan Perwakilan Desa.

TATACARA PEMILIHAN KEPALA DESA


Pemilihan kepala desa (Pilkades) merupakan bentuk praktik demokrasi langsung di pedesaan. Dalam praktik demokrasi langsung seperti ini yang terpenting dikedepankan adalah proses pemilihan yang memegang teguh tiga aspek penting, yaitu aspek kompetisi antar konstestan, partisipasi dan kebebasan (liberalisasi). Aspek kompetisi berkaitan dengan orang-orang yang mencalonkan diri sebagai kepala desa dan cara-cara yang dipakai untuk menjadikan mereka ini sebagai calon kepala desa. Aspek partisipasi berkaitan dengan pemahaman masyarakat terhadap pemilihan kepala desa, cara mereka merumuskan tipe kepemimpinan kepala desa dan model mereka membangun kesepakatan politik dengan para calon kepala desa. Aspek kebebasan erat kaitannya dengan suasana warga pemilih dalam menentukan pilihan politiknya kepada para calon kepala desa. Berdasarkan pertimbangan tiga aspek penting dalam proses pemilihan kepala desa tersebut, diharapkan akan terselenggara praktik demokrasi langsung melalui lembaga penyelenggara, proses dan produk pemilihan yang baik serta bermanfaat nyata bagi masyarakat desa.

Lembaga penyelenggara Pilkades adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam menyelenggarakan Pilkades, BPD membentuk Panitia Pemilihan yang diisi oleh perangkat desa, pengurus lembaga desa dan tokoh masyarakat desa. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa, yang berperan sebagai pengawas adalah para anggota BPD. Tetapi untuk mencapai hasil pemilihan yang lebih baik, penting untuk mendorong munculnya pengawasan mandiri dari unsure-unsur masyarakat (karang taruna, kelompok perempuan, kelompok tani).

Panitia pemilihan kepala desa memegang peranan yang strategis pada semua tahapan pemilihan. Mulai dari pendataan calon pemilih, penjaringan bakal calon kepala desa, melaksanakan pemungutan suara, menghitung perolehan suara, dan melaporkan seluruh hasil pemilihan kepala desa. Karena itu personil yang direkrut untuk menjadi panitia pemilihan harus orang-orang yang memiliki kecakapan dan keterampilan dalam aministrasi, logistik dan proses pemilihan.

PILKADES, PESTA DEMOKRASI DI DESA

Otonomi daerah, setidaknya membuka peluang terbukanya saluran-saluran politik masyarakat yang selama ini dihilangkan. Pelaksanaan otonomi daerah harus mempunyai makna pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif utamanya lahan) politik (sistem pengambilan keputusan) dan sosial (kelembagaan masyarakat) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability). Desentralisasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menawarkan kesadaran pada kita bahwa ke depan, pembangunan harus dijiwai dan mengakomodasi nilai-nilai lokal, kultural dan historis masyarakat setempat ke dalam bentuk partisipasi seluas-luasnya.

Paralel dengan semangat ideal desentralisasi tersebut, ide tentang pembaharuan desa menemukan signifikansinya pada perbaikan kehidupan desa. Pembaharuan desa dilakukan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi politik desa secara internal maupun eksternal yang memiliki tatanan kehidupan baru yang demokratis, mandiri dan adil. Dengan demikian, pembaharuan desa hendak melakukan konfrontasi terhadap ketimpangan ekonomi politik desa maupun krisis sosial di desa. Pembaharuan desa juga dilakukan dalam upaya mendorong masyarakat belajar secara kritis untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi hidup mereka, menempa kapasitas, membangkitkan potensi dan kekuatan lokal serta mengembangkan modal sosial, yang semua ini menjadi basis bagi demokrasi dan otonomi desa.

Pilkades, seperti hajatan demokrasi yang lain sebenarnya juga membuka jalan bagi pembaharuan desa. Hasil Pilkades, sesungguhnya jabatan politis yang kuat legitimasinya dan berdaulat. Dengan kekuasaannya Kades mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan (Perdes) dengan persetujuan BPD. Semacam kontrak politik, masyarakat pedesaan juga bisa memanfaatkan momentum PILKADES untuk mencari sosok Kepala Desa yang penuh komitmen untuk pembaharuan desa, daripada terus menerus dibohongi janji-janji semu politik uang.

PILKADES DAN PEMBAHARUAN DESA

Kehidupan demokrasi di desa saat ini jauh lebih maju. Dalam Pilkades masyarakat desa memilih secara langsung pimpinan mereka. Dalam momentum menjelang Pilkades, saya memaknainya sebagai peluang untuk memajukan kehidupan pedesaan, terutama petani pedesaan. Lebih khusus lagi memaknai jabatan kepala desa, sebagai jabatan politik yang dapat memajukan masyarakat petani yang menjadi mayoritas penduduk. Kepala desa sudah waktunya untuk dimaknai bukan sekedar kepanjangan tangan administrasi pemerintahan supradesa.

Saat sekarang kita sedang “menikmati” hasil dari model pembangunan yang menafikan posisi desa. Pada dekade tahun 50-an, teori pembangunan melihat industrialisasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari keterbelakangan. B. Higgins yang dikutip oleh Mubyarto mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat pertanian Indonesia tidak dapat dipecahkan dengan program-program pertanian saja. Menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu mengubah pengangguran tersembunyi menjadi kerja yang produktif.

Memang industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan berkembang dan pertumbuhan ekonomi meroket. Tapi, model pembangunan yang “kota sentris” mengorbankan penduduk desa yang hanya menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukarnya rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya, akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dalam kondisi ini tidak mungkin terjadi akumulasi kapital pada masyarakat pedesaan atau petani, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan usaha tani. Perhatian pemerintah yang hanya menekankan pada swasembada beras, juga menghancurkan kreatifitas petani untuk melakukan diversifikasi komoditas tanaman. Parahnya, fasilitas kredit yang mereka perlukan dipenuhi bukan dari lembaga keuangan formal, namun dari lembana informal yang semakin menjerat mereka dalam kemiskinan.

PILIHAN KEPALA DESA, POLITIK UANG SUDAH BIASA

Pilkades adalah termasuk dalam kerangka demokrasi, namun pada kenyataannya efek yang ditimbulkan cukup beragam. Bahkan kadang-kadang luka yang ditimbulkan dalam ajang pilkades ini butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya. Ada beberapa masukan yang mengusulkan bahwa ajang pilkades ini dihilangkan atau diubah sedemikian rupa agar efek yang ditimbulkan tidak berkepanjangan.

Selain itu biasanya ajang pilkades ini rentan dengan yang namanya money politic atau politik uang, tanpa uang pilkades tidak jalan baik dari segi kepanitiaan sebagai pelaksana ataupun bagi pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam ajang pilkades. Untuk kepanitiaan, pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus pos penyelenggaraan Pilkades yang jika dihitung mendekati miliaran rupiah bahkan lebih, selain itu desa juga mengeluarkan pos anggaran dan besarnya tergantung dari kesepakatan bersama antara pemerintahan desa dan lembaga yang ada. Bakal calon atau Calon kepala desa biasanya juga mengeluarkan sejumlah uang yang lazim disebut swadaya dalam rangka mensukseskan ajang pilkades di desanya.

Selain biaya tersebut di atas, calon kepala desa yang akan berlaga dalam ajang pemilihan kepala desa juga harus menyiapkan sejumlah uang dalam rangka kesuksesan dirinya dalam rangka menggaet pemilih. Biasanya hal ini telah dilakukannya jauh-jauh hari setelah dirinya dengan resmi mengikuti ajang pilkades di desanya istilah jawanya bukak lawang. Meskipun hanya sekedar menyediakan makanan kecil, minuman, rokok namun jika yang disediakan jumlah cukup banyak dan waktunya cukup panjang jika dihitung bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Oleh karenanya agar Pilkades bisa berjalan lancar dan menghasilkan pimpinan yang baik demi kemajuan desanya, warga desa harus mematuhi aturan yang berlaku, namun untuk urusan amplopan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah, entah bagi-bagi duit atau money politic istilahnya itu pasti ada.

MONEY POLITIK DI PILKADES

Ketika proses pilkades berlangsung, masing-masing calon menghabiskan dana puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Bukan kebetulan bila pemenang mesti berasal dari keluarga tergolong bermodal kuat. “Money politic” tampak menular ke desa, bukan hanya pada tingkat pilkada atau pilpres. Gagal bisa berarti mendekati kebangkrutan secara ekonomi. Terlalu berat beban ekonomi yang harus ditanggung seorang calon kepala desa bila gagal. Kalau mau jujur, sesungguhnya memelihara kehidupan sehat sehari-hari saja harus berjuang cukup berat. Tak salah bila ada komentar, mereka para calon berspekulasi atau tepatnya berjudi dengan kehidupan. Bangkrut bila tak jadi atau sebaliknya.

Biasanya pemenang berjanji akan menjalankan fungsi menyejahterakan masyarakat desa. Tentu dalam kiprah selama menjabat berpedoman pada Undang-Undang, khususnya yang mengatur mengenai pemerintahan desa dan Peraturan Pemerintah serta Peraturan Daerah, selain bantuan dana/daya dari pusat. Waktu berjalan akan menguji kemampuan peningkatan kesejahteraan warga desa. Sungguh suatu tantangan berat dan perlu konsentrasi dan kerja keras. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di pedesaan, tentu tak elok bila kepala desa terpilih lebih mengutamakan untuk segera balik modal. Apalagi bila punya keinginan mendapat untung lebih besar. Sementara hingga kini anggaran desa belum terencana, tertulis, dan tertata baik dengan transparan. Perlu pembenahan dan perubahan mendasar pengelolaan administrasi pemerintahan desa.

Bila jabatan dan pola kepemimpinan desa hingga ke metropolitan, bahkan nasional sudah menjadi barang dagangan, bagaimana jadinya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa kini. Kata orang bijak, memimpin dengan baik harus seperti menggerakkan benang atau tali. Tali tidak akan bergerak maju hanya dengan upaya mendorong. Untuk bisa bergerak maju dengan cepat dan benar tali harus ditarik. Begitulah memimpin dengan baik, mampu menarik kaum miskin kota dan desa bergerak maju menjadi sejahtera, cerdas, serta dapat hidup lebih aman, nyaman dan bahagia.

FENOMENA PILKADES DI ERA REFORMASI


Suasana tegang, panas, dan mencekam sempat mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa di wilayah Kabupaten Jepara. Aksi unjuk rasa dan rasa tidak puas antar lawan politiknya nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu. Meski tidak semua desa terdapat aksi kekerasan, tetapi tak urung juga mencuatkan tanda tanya di benak kita. Ada apa gerangan di balik ulah sebagian warga desa yang cenderung destriktif dan menjurus ke tingkah anarkhi itu? Bukankah selama ini warga desa kita sanjung sebagai rakyat yang polos, lugu, manutan, dan santun dalam segenap perilakunya? Mengapa tiba-tiba saja kadang-kadang mereka tidak dapat menahan diri apabila terjadi suatu masalah.

Tak dapat dipungkiri, jabatan kepala desa memang cukup strategis. Sclain menjanjikan naiknya status sosial ekonomi, seorang kepala desa juga memegang posisi kunci dalam “menghitamputihkan” corak dan warna dinamika desa yang dipimpinnya. Ia menjadi figur yang dianggap masyarakat memiliki “kelebihan” tersendiri, dihormati, disegani, dan acapkali dijadikan sebagai sumber informasi bagi warga desanya.

Sangatlah beralasan, setiapkali siklus demokrasi pemilihan Kepala Desa diputar, tidak sedikit warga desa yang memiliki cukup “modal” siap bersaing untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di desanya. Yang menarik, dukungan yang diberikan oleh warga desa kepada calon yang dijagokan masing-masing tampak penuh greget dan antusias. Para pendukung masing-masing calon menjelang hari “H” pelaksanaan pilkades sibuk menarik simpati massa dengan berbagai macam cara. Yang jelas, masing-masing kubu merasa calonnyalah yang paling pantas menjadi kepala desa.

Tidak jarang terjadi, upaya masing-masing kubu untuk menarik simpati massa menim-bulkan situasi panas dan tegang. Ada semacam “keharusan” bahwa calonnya harus keluar sebagai pemenang. Cara yang ditempuhnya pun bervariasi. Ada yang mengobral janji, “memanjakan” calon pemilih dengan pesta, atau membeli suara calon pemilih dengan sejumlah uang.